Abu Dzar Al Ghifari
Nama aslinya
adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi
dia dikenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rasulullah
yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk
Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai seorang
perampok yang suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati padang
pasir. Suku Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan hantu
kegelapan. Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat dari
perampokan.
Abu Dzar
Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling tidak
disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah
Utsman, seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain. Ia
mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak
menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat
hidayat Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw menyebarkan dakwah
risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang
lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko
mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir
Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Mekah, Abu Dzar berhasil
mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang
berdekatan, yaitu qabilah Aslam
Abu Dzar Al Ghifari Masuk Islam
Ia datang
ke Mekah terhuyung-huyung letih tetapi matanya bersinar bahagia…..Memang,
sulitnya perjalanan dan panasnya telah menyengat badannya dengan rasa sakit
udara padang pasir dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya telah
meringankan penderitaan dan meniupkan semangat serta rasa gembira dalam
jiwanya. Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah ia seorang yang hendak
melakukan thawaf keliling berhala-berhala besar di Ka'bah atau seolah-olah
musafir yang sesat dalam perjalanan atau lebih tepat orang yang telah menempuh
jarak amat jauh, yang memerlukan istirahat dan manambah perbekalan. Padahal
seandainya orang-orang Mekah mengetahui babwa kedatangannya itu untuk menemui
Muhammad shallallahu alaihi wasalam dan mendengar keterangannya, pastilah
mereka akan membunuhnya! Tetapi ia tak perduli akan dibunuh asal saja setelah
melintasi padang pasir luas, ia dapat menjumpai laki-laki yang dicarinya dan
menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan da'wah yang diberikan Muhammad
shallallahu alaihi wasalam dapat memuaskan hatinya.
Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap
didengarnya orang memperkatakan Muhammad shallallahu alaihi wasalam , ia pun
mendekat dan menyimak dengan hati-hati; hingga dari cerita yang tersebar di
sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat menunjukkan tempat persembunyian
Muhammad shallallahu alaihi wasalam , dan mempertemukannya dengan beliau.
Di pagi suatu hari ia pergi ke tempat itu, didapatinya
Muhammad shallallahu alaihi wasalam sedang duduk seorang diri. Didekatinya
Rasulullah, katanya: "Selamat pagi wahai kawan sebangsa!" "Alaikum
salam, wahai shahabat", ujar Rasulullah. Kata Abu Dzar: "Bacakanlah
kepadaku hasil gubahan anda!" "Ia bukan sya'ir hingga dapat digubah,
tetapi adalah Quran yang mulia!", Ujar Rasulullah. dibacakanlah oleh
Rasulullah, sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga tidak
berselang lama iapun berseru: "Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu
anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh". "Anda dari mana, saudara
sebangsa?", tanya rasulullah. "Dari Ghitar'', ujarnya.
Maka terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah, sementara wajahnya
diliputi rasa kagum dan ta'jub. Abu dzar tersenyum pula, karena ia mengetahui
rasa terpendam di balik rasa kagum Rasulullah demi mendengar bahwa orang yang
telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu, seorang laki-laki
dari Ghifar.
Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada
taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi tamsil perbandingan dalam
melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak
jadi soal bagi mereka, dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan
kaum Ghifar di waktu malam! Sekarang, dikala agama Islam yang baru saja lahir
dan berjalan sembunyi-sembunyi, mungkinkah ada diantara orang-orang Ghifar itu
seorang yang sengaja datang untuk masuk Islam? Berkatalah Abu Dzar dalam
menceritakan sendiri kisah itu: Maka pandangan Rasulullah pun turun naik, tak
putus ta'jub memikirkan tabi'at orang-orang Ghifar, lalu sabdanya : "Sesungguhnya
Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya…!" Benar, Allah
menunjuki, siapa yang Ia kehendaki ! Abu dzar salah seorang yang, dikehendaki
Allah beroleh petunjuk , orang yang dipilihNya akan mendapat kebaikan Dan
memang, Abu Dzar ini seorang yang tajam pengamatannya tentang kebenaran.
Menurut riwayat, ia termasuk salah seorang yang menentang
pemujaan berhala di zaman jahiliyah, mempunyai kepercayaan akan Ketuhanan serta
iman kepada Tuhan Yang Maha Esa lagi Perkasa, maka iapun menyiapkan bekal dan
segera mengayunkan langkahnya. Abu Dzar telah masuk Islam tanpa ditunda-tunda
lagi….! urutannya dikalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia
telah memeluk agam itu pada hari-hari pertama, bahkan pada saat-saat pertama
agama Islam, hingga keIslamannya termasuk dalam barisan terdepan.
Ketika ia masuk Islam, Rasulullah masih menyampaikan
da'wahnya secara berbisik-bisik. Dibisikkannya kepada Abu Dzar begitupun kepada
lima orang lainya yang telah iman kepadanya. Dan bagi Abu Dzar, tak ada yang
dapat dilakukannya sekarang selain memendam keimanan itu dalam dada, lalu
meninggalkan kota Mekah secara diam-diam dan kembali kepada kaumnya. Tetapi Abu
Dzar yang nama aslinya Jundub bin Janadah, seorang radikal dan revolusioner.
Telah menjadi watak dan tabi'atnya menentang kebathilan dimanapun ia berada.
Dan sekarang kebathilan itu berada dihadapannya serta disaksikannya dengan
kedua matanya sendiri….Batu-batu yang ditembok, yang dibentuk oleh para
pemujanya, disembah oleh orang-orang yang menundukkan kepala dan merendahkan
akal mereka, dan diseru mereka dengan ucapan yang muluk : Inilah kami , kami
datang demi mengikuti titahmu! memang, ia melihat Rasulullah memilih cara
bisik-bisik pada hari-hari tersebut, tetapi tidak dapat tidak harus ada suatu
teriakan keras yang akan dikumandangkan pemberontak ulung ini sebelum ia pergi.
Baru saja masuk Islam, ia telah menghadapkan pertanyaan
kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, apa yang saya kerjakan menurut
anda?" "Kembalillah kepada kaummu sampai ada perintahku
nanti!", ujar Rasulullah. "Demi Tuhan yang menguasai
nyawaku", kata Abu Dzar pula, "saya takkan kembali sebelum
meneriakkan Islam dalam masjid!" Bukankah telah saya katakan kepada
kalian…..? Jiwa yang radikal dan revolusioner! Apakah Abu Dzar pada saat
terbukanya alam baru secara gamblang, yang jelas terlukis pada Rasulullah yang
diimaninya, sertada'wah yang uraiannya disampaikan dengan lisannya…, apakah
pada saat seperti itu ia mampu kembali kepada keluarganya dalam keadaan membisu
seribu bahasa ? Sunguh, hal itu diluar kesanggupan dan kemampuannya! Abu Dzar
pergi menuju masjidil haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya suaranya: "Asyhadu
Alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah". Setahu
kita, teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang Agama Islam yang
menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga mereka….,
diserukan oleh seorang perantau asing yang di Mekkah tidak mempunyai bangsa,
sanak keluarga maupun pembela. Dan sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan
dari mereka yang sebetulnya telah dimaklumi akan ditemuinya…. Orang-orang
musyrik mengepung dan memukulnya hingga rubuh.
Berita mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu
akhirnya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. Ia segera mendatangi tempat
terjadinya peristiwa tersebut, tapi dirasanya ia tidak dapat melepaskan Abu
Dzar dari cengkeraman mereka kecuali dengan menggunakan diplomasi halus, maka
katanya kepada mereka : "Wahai kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa
pedagang yang mau tak mau akan lewat dikampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah
seorang warganya, bila ia bertindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok
kafilah-kafilahmu nanti!" merekapun sama menyadari hal itu, lalu pergi
meniggalkannya. Tetapi Abu Dzar yang telah mengenyam manisnya penderitaan dalam
membela Agama Allah, tak hendak meninggalkan Mekkah sebelum beroleh tambahan
dari darma baktinya.
Demikianlah pada hari berikutnya, tampak olehnya dua
orang wanita sedang thawaf keliling berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil
memohon padanya. Abu Dzar segera berdiri menghadangnya, lalu dihadapan mereka
berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya. Kedua wanita itu memekik berteriak,
hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang, lalu menghujani Abu
Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, maka yang
diserunya tiada lain hanyalah "bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi
melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah". Maklumlah sudah
Rasulullah shallallahu alaihi wasalam akan watak dan tabi'at murid barunya yang
ulung ini serta keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya
sayang saatnya belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar dia pulang,
sampai bila telah didengarnya nanti Islam lahir terang-terangan ia dapat
kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya
Abu Dzar Pasca
Rosulullah SAW Wafat
Sampai pada masa sepeninggal Rasulullah
Saw, Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa
Khalifah Abu Bakar gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh
Rasulullah Saw belum muncul. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, berkat
ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan
dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang
dikalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah
Utsman bin Affan, penyakit yang membahayakan kesentosaan umat itu bermunculan
laksana cendawan dimusim hujan. Khalifah Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya
menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman. sudah lanjut, serta
pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri
dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat
Rasulullah Saw yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan
setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah
seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli
beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan
pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan
Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi,
keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi
Muhammad Saw dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati
kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala
sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari
sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela.
Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang
terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada
nasihat Rasulullah Saw, jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan
lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya.
Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu
Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan
orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru
supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu
Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang: "Barang siapa
yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka
beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada
hari kiamat.
Di Syam Abu Dzar
memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang
yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu
Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali
prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran
Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi
Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang
kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk
membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi
pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau
mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru
kepada setiap orang: "Aku sungguh heran melihat orang yang di rumahnya
tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!"
Seruan Abu Dzar
yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang
menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang
telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu
Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya
pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan
ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasulullah
saw,"Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi
sisir…," "Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar
taqwanya…", "Penguasa adalah abdi masyarakat," dan lain
sebagainya.
Para penguasa
Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat
kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu
Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak diluar bisikan hati nurani. Abu
Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan
mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari
dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia
menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di
Mekah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit
pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding
Abu Dzar berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh Al-Quran disebut sebagai
penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari
kiamat dengan api neraka?!"
etapa pengapnya
Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muawiyah bin Abu
Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan ditangan ia
dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus
disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman di Madinah.
Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di
Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan
kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak
meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman
melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar
diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu,
Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membutuhkan
duniamu!"
Khalifah Utsman
masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: "Tinggal sajalah
disampingku!"Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak
membutuhkan duniamu!" Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar
berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan
Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan
Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw,
Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar.
Memang justru
itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman, sebab ia harus
memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya. Abu Dzar tidak
bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para
pembantu dan para penguasa Bani Umayyah, Khalifah Utsman mengambil keputusan: Abu
Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang
pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan
selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan. Bagi Abu Dzar pembuangan
bukan apa-apa. Sedikitpun ia tidak ragu, bahwa Allah Swt selalu bersama
dia. Kapan saja dan dimana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman ia
berkata: "Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib
yang tinggi atau diatas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada
Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan
aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah
diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok
ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan
berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku."
Itulah Abu Dzar
Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhaan Al Khalik. Ia seorang
pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad Saw. Ia
seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku
tangan membiarkan kebatilan melanda umat.
Peristiwa
dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin,
khususnya para sahabat Nabi Muhammad Saw. Sayidina Ali sangat tertusuk
perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan
simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Dzar Diasingkan
Abu Bakar Ahmad
bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang
bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan
Khalifah Utsman di atas:
Khalifah Utsman
memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan
mengantarnya sampai ditengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang
berani mendekati Abu Dzar, kecuali Sayidina Ali, Aqil bin Abi Thalib dan dua
orang putera Sayidina Ali, yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Beserta
mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat
keberangkatannya, Sayyidina Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar
itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: "Hai Hasan, apakah engkau
tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini?
Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!"
Melihat sikap
Marwan yang kasar itu, Sayidina Ali tak dapat menahan letupan
emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh
Marwan: "Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke
neraka."
Sudah tentu unta
yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah,
tetapi ia tidak punya keberanian melawan Sayidina Ali. Cepat-cepat Marwan
kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Sayidina Ali. Khalifah
Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Sayidina Ali dan
anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Sayidina
Ali terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar
guna mengucapkan selamat jalan. Diantara mereka itu terdapat seorang bernama
Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib. Dzakwan dikemudian hari Menceritakan
pengalamannya sebagai berikut:
Aku ingat benar
apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan:
"Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para
penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya.
Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit
dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh takwa
kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada
yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan
hatimu selain kebatilan!" Atas dorongan Sayidina Ali, Aqil berkata kepada
Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu!
Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau
sangat mencintai kami juga. Bertakwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab
takwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati.
Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari
orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut
dan putus asa."
Kemudian
Sayyidina Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak
mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara
yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat
sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan
sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang
kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih
mengingat kesukaran dimasa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa
mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu
benar-benar ridha kepadamu."
Kemudian kini
berkatalah Sayyidina Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah Swt berkuasa
mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan
dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka.
Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah!
Berlindunglah kepada Allah Swt dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan
bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan
tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda
datangnya ajal!"
Dengan nada marah
Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang orang yang
telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang
menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka
akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kau
katakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang
seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa.
Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak
orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan
sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu.
Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan
akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"
Sambil
berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian,
wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasulullah
Saw. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat
karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka
melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka
memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana
aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah Swt Demi Allah,
aku tidak menginginkan teman selain Allah Swt dan bersama-Nya aku tidak takut
menghadapi kesulitan."
Tutur Dzakwan
lebih lanjut. Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Sayidina
Ali segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan. Kepada Sayidina
Ali, Khalifah bertanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani
mengusir pulang petugasku --yakni Marwan-- dan meremehkan
perintahku?"
"Tentang
petugasmu," jawab Sayidina Ali dengan tenang "ia mencoba
menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang
perintahmu, aku tidak meremehhannya."
"Apakah
engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu
Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.
"Apakah
setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus
kuturut?" tanggap Sayidina Ali terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam
bentuk pertanyaan.
"Kendalikan
dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan Sayidina Ali.
"Mengapa?"
tanya Sayidina Ali.
"Engkau
telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya" jawab
Khalifah.
"Mengenai
untanya yang kucambuk," Sayidina Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas
keterangan Khalifah Utsman, "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi
kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan
kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong
kepadamu!"
"Mengapa dia
tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh.
"Apakah engkau lebih baik dari dia?!"
"Demi Allah,
bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Sayidina Ali dengan tandas.
Habis mengucapkan kata-kata itu Sayidina Ali cepat-cepat keluar meninggalkan
tempat.
Beberapa waktu
setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum
Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu
ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Sayidina Ali. Menanggapi keluhan
Khalifah Utsman bin Affan, para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan:
"Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih
baik."
"Aku memang
menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini beberapa orang dari
pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Sayidina
Ali dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Sayidina Ali di rumahnya. Kepada Sayidina
Ali mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan
untuk meminta maaf?"
"Tidak,"
jawab Sayidina Ali dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan
tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan
aku mau datang kepadanya."
Tak lama kemudian
datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Sayidina Ali datang bersama
beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah Swt, Sayidina Ali berkata: "Yang kauketahui tentang
percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah,
tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang kumaksud
semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan
menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang
telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa
menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun
tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku,
sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."
Sebagai tanggapan
atas keterangan Sayidina Ali tersebut, Khalifah Utsman berkata dengan nada
lemah lembut,"Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan
apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun
mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang
bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah
tanganmu!" Sayidina Ali segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik
oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.
Abu Dzar Al Ghifari Di Pembuangan
Bagaimana keadaan
Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama isteri
dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun
bisa turut menangis sedih!
Menurut riwayat
tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat
pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal
mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari
sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali.
Ia mengajak isterinya pergi kesebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan.
Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru.
Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat
pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika
isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik. Isterinya
menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa engkau menangis?"
"Bagaimana
aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu, "kalau
menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak
mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku!
Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!''
Betapa hancurnya
hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata:
"Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari
kaum muslimin yang lewat!"
"Bagaimana
mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang
sudah lenyap!"
"Pergilah
kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar menirukan beberapa
perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasulullah Saw, "Jika engkau
melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan
tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku
dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat,
katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasulullah. Ia sudah hampir menemui
ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!"
Dengan
tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat
kesana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya.
Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana,
tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan
bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan
baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke
arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian
bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?"
"Apakah
kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik bertanya. "Bisakah
kalian menolong kami dengan kain kafan?"
"Siapa
dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
"Abu Dzar
Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.
Mereka saling
bertanya diantara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa
seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri.
"Sahabat Rasulullah?" tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
"Ya,
benar!" sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak
mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada
kita!"
Mereka meletakkan
cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua
yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada
orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata,"Demi
Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan
untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus
selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku.....Aku minta kepada kalian,
jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia
seorang penguasa atau pegawai."
Mendengar pesan
Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka
ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: "Hai paman,
akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan
uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh
ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…" "Engkaukah
yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!"
Sahut Abu Dzar.
Sambil
mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama
kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas
terakhir dalam keadaan tenang berserah diri kehadirat Allah Swt Awan di langit
berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang
menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah
berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda taufan.
Selesai
dimakamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil
berdoa: "Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasulullah Saw, hamba-Mu yang
selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum
musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran
lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia
dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil.
Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari
tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasulullah!"
Mereka mengangkat
tangan bersama-sama sambil mengucapkan "Aamiin" dengan khusyu'.
Orang mulia yang
bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata:
"Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku..."
Sumber:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment