POLITIK KONFRONTASI INDONESIA TERHADAP MALAYSIA 1963-1966
PENDAHULUAN
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan,
sebuah provinsi di Indonesia,
terletak di selatan Kalimantan. Di utara
adalah Kerajaan Brunei
dan dua koloni Inggris;
Sarawak dan Borneo
Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia
Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi
Malaya dengan membentuk Federasi
Malaysia.
Rencana
ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno
berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi
Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam
kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah,
dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan
Sulu.
Di
Brunei, Tentara
Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember
1962. Mereka mencoba
menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa.
Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura.
Pada 16
Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far
Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama
telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan
berakhir.
Filipina dan Indonesia
resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi
Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial
memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16
September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini
sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar,
tetapi pemimpin Indonesia
melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai
bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI,
merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku
Abdul Rahman—Perdana
Menteri Malaysia saat
itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun
meledak. Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala
Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para
demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang
melancarkan konfrontasi terhadap Malaysiaan. Ini beriringan pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio
bahwa Indonesia mengambil
sikap bermusuhan terhadap Malaysia
pada 20
Januari 1963.
Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia
(sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan
penyerangan dan sabotase
pada 12 April berikutnya.
Soekarno
yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang
menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan
balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang
Malaysia. Soekarno
memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia
Konfrontasi terhadap Pembentukan Negara Federasi Malaysia
Konfrontasi
merupakan kebijakan politik pemerintah Indonesia terhadap penolakan rencana
pembentukan negara federasi Malaysia yang diyakini Soekarno sebagai proyek new-imperialism. Konfrontasi sebagai
aksi politik, hal tersebut diungkapkan oleh Menlu Subandrio secara resmi pada
tanggal 20 Januari 1963. Dalam pengumuman tersebut, Subandrio mengatakan:
“presiden telah
memutuskan bahwa mulai saat ini kita akan menjalan suatu politik konfrontasi
terhadap Malaka (sebutan lain untuk Malaya). Hal ini tidak berarti bahwa kita
akan berperang. Tidak harus demikian. Sayapun merasa memang sudah seharusnya
kita melancarkan politik konfrontasi.
Yang perlu disesalkan adalah politik konfrontasi semacam ini harus dilancarkan
terhadap sebuah negeri Asia (Tenggara), negeri tetangga kita sendiri”
Konfrontasi berarti kondisi bermusuhan antara dua negara
atau lebih karena tidak terakomodasinya perbedaan kepentingan di antara
negara-negara tersebut. sebagai tujuan, konfrontasi merupakan suatu sarana
untuk mencapai tujuan masing-masing negara. Sikap konfrontatif Indonesia menandakan buruknya hubungan Indonesia-Malaya dalam
masalah pembentukan Negara Federasi Malaysia. Konfrontasi tidak selalu berupa
kontak senjata. Kontak senjata dalam konfrontasi merupakan tahap lanjutan dari
politik konfrontasi yang ekstrim. Tahap lanjutan tersebut dapat dilihat dari
meningkatnya sentiment anti Federasi-Malaysia yang mengarah pada kontak senjata
dan ditandai dengan slogan “Ganyang Malaysia”.
Malaysia Sebelum Konfrontasi
Jauh sebelum konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia muncul, di Jazirah
Malaya telah berdiri beberapa kesultanan yang dipengaruhi masuknya agama Islam
pada abad ke 14,. Mereka bergabung dalam “Persekutuan Tanah Melayu” yang berada
dibawah kekuasaan Inggris. Innggris mulai menguasai Malaya dengan perebutan
Pulau Pinang dari Sultan Kedah, merebut Singapura dari Johor dan mengambil alih
Malaka dari Belanda. Ketiga wilayah tersebut kemudian dihimpun dalam Strait Settlements (Wilayah Pemukiman Selat Malaka). Pengambilan Malaka lewat
konvensi London yang disepakati pada tahun 1884,. Salah satu isi Konvensi
London ialah ialah menukar jajahan Inggris di Bengkulu dengan jajahan Belanda
di Malaka (Mangandaralam).
Kekuasaan Inggris semakin meluas tanpa halangan berarti. Perak,
Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang diserahkan dari kerajaan Siam tahun 1859
yang tergabung dalam :”Persekutauan Tanah Melayu” dan disusul dengan penyerahan
Kedah, Perlis dan Trengganu pada rahun 1909 yang menolak untuk bergabung dengan
persekutuan tanah Melayu, termasuk Johor. Di sebelah timur Inggris menguasai
secara langsung Sabah dan Serawak yang terletak di Borneo sebelah utara,
berbeda dengan wilayah kekuasaan Inggris di sekitar Selat Malaka yang para
Sultannya tetap mempunyai kekuasaan langsung meskipun terbatas karena kebijakan
yang dilakukan berada di bawah kontrol Ingris.
Pada masa pendudukan Jepang, pengaruh semangat Revolusi Indonesia untuk
mencapai kemerdekaan sedikit banyaknya mempengaruhi keinginan
kesultanan-kesultanan Malaya untuk mencapai kemerdekaan.
Tatanan internasional yang terus berkembang dalam menyuarakan hak;
termasuk hak untuk merdeka, menjadikan elit dan penduduk di
kesultanan-kesultanan Malaya mencapai tingkat kesadaran yang tinggi mengenai
pentingnya perubahan politik yang lebih baik menurut pandangan mereka. Walaupun
tidak dapat dipungkiri, terbentuknya Malaya didukung oleh Inggris. Posisi
Inggris atas Malaka membentuk pola hubungan superioritas-inferior dalam artian
“yang menguasai” dan “yang dikuasai” secara lebih kondusif dibandingkan apa
yang terjadi pada Indonesia dibwawah kekuasaan Belanda.
Untuk mencapai kemerdekaan, awal 1956 dimulai pembicaraan antara
wakil-wakil kesultanan Malaya. Perundingan mencapai kesepakatan bahwa pada
agustus 1957 Malaya akan menjadi negara merdeka. Kesepakatan tersebut menjadi
kennyataan, pada tanggal 31 Agustus proklamasi kemerdekaan Malaya diumumkan.
Pemimpin Malaya pertama Tuanku Abdul
Rahman, dengan sebutan Yang Dipertuan Agung.
Sikap konfrontasi tersebut belum nampak, kemerdekaan yang tanpa
pengorbanan berarti tersebut mengundang kecurigaan Indonesia. Bahkan kecurigaan
Indonesia, khususnya Soekarno bertambah buram ketika Indonesia dan Malaysia
menyepakati suatu penandatanganan perjanjian perdamaian pada tahun 1959. perjanjian
tersebut menjadi tanda ketidak beratan Indonesia atas “lahirnya” Malaya di
tanah Melayu.
Politik Konfrontasi Indonesia
Konfrontasi
menurut Ensiklopedia 1978 ialah suatu pola dalam hubungan internasional berupa
konflik antara dua negara atau lebih mengennai masalah yang dipertentangkan.
Segi-segi yang dapat dilihat dari konfrontasi; yaitu, tujuan dan kondisi. Dari
segi kondisi, konfrontasi sebagai suasana dua negara atau lebih mempunyai kepentinngan yang berbeda dan
tidak dapat diakomodasi. Sedangkan konfrontasi
sebagai tujuan ialah suatu sarana untuk mencapai tujuan masing-masing negara.
Situasi
kondusif masih terlihat pada bentuk Federasi Malaya yang kemegahan serta citra
federasinya belum sebesar Malaysia namun telah menjadi tonggak bertranformasinya
kawasan Malaka tersebut kedalam suatu negosiasi yang lebih serius, yaitu;
pembentukan Negara Federasi Malaysia. Setelah Malaya merdeka, keinginan untuk
federasi yang lebih besar tersebut muncul pada awal tahun 1960,. Rencana
pembentukan Negara Federasi Malaysia yang terdiri atas Persekutuan Malaya,
Singapura, Serawak, Brunei dan Sabah.
Secara
goegrafis, Malaya menginginkan Singapura masuk ke dalam federasi karena kota
pulau tersebut dapat dijadikan pelabuhan setrategis. Penggabungan dengan
Singapura banyak menuai kontra dari berbagai kalangan di Malaya atau Singapura
itu sendiri, mengingat Singapura merupakan wilayah mayoritas etnis cina. Orang
Melayu khawatir akan tergeser oleh etnis Cina, smentara pada waktu itu isu
komunis masih merembak di kawasan Asia Tenggara. Sebagai solusi bagi orang
Melayu di Malaya, Inggris menawarkan agar federasi juga mengikutsertakan koloni
Inggris di utara Bornio, yaitu, Serawak, Sabah dan Brunei. Awalanya Indonesia
tidak keberatan dengan rencana tersebut.
Situasi
bermusuhan terlihat ketika secara resmi politik konfrontasi Indonesia terhadap
rencana Federasi Malaysia diumumkan oleh Subandrio pada tanggal 20 Januari
1963. Tetapi benih konfrontasi terhadap rencana Federasi tersebut telah dimulai pada
awal Desember 1962 ketika perlawanan Azhari yang dianggap perjuangan menentang
kolonialisme oleh Soekarno pecah pada tanggal 8 Agustus 1962,. Maka ketika
sentimen menentang Federasi Malaysia lewat dukungan Azhari muncul, dapat
dijadikan acuan untuk melihat kasus tersebut dari tinjauan konffrontasi. Sentimen
anti rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia oleh Indonesia yang
beriringan dengan dukugan Indonesia terhadap perlawanan Azhari merupakan
perbedaan pandangan politik anatara Indonesia dan Malaya.
Perubahan
sikap Indonesia disambut “mendidih” oleh Tengku Abdul Rahman, maka saat itu
Indonesia bermusuhan dengan Malaysia. Soekarno telah dianggap mencampuri urusan
dalam negeri Malaya. Inggris melihat perubahan sikap Indonesia seagai awal dari
kepercayaan diri ekspansionisme Soekarno
terhadap wilayah-wilayah di sekitar Indonesia, seperti yang terjadi pada
kasus Irian Barat.
Protes
tidak hanya dilancarkan Indonesia, pada tanggal 22 Juli 1962 Presiden Fhilipina
Macapagal menyatakan keberatan atas
rencana Federasi Malaysia dan menuntut hak kedaulatan Sabah. Tuntutan tersebut
didasarkan pada Kesultanan Sulu pimpinan Mohammad Jamalul Alam yang bersal dari
Fhilipina menyewakan Sabah kepada Baron Von Overbeck dan Alfred Dent (atas nama
Britis Nort Borneo Company) dengan
sewa 5.000 dolar Malaya per tahun pada
22 Januari 1878,. Namun tuntutan
tersebut mempunyai kelemahan, karena pada tahun 1885, Spanyol meruntuhkan
Kesulatanan Sulu, kemudian melepaskan klaim atas Sabah pada protokol Madrid
1885,. Malaysia mengecam Fhlipina atas tuntutan tersebut.
Beberapa
kali negosiasi antara Malaya, Indonesia dan Fhilipina dilakukan untuk meredam
keadaan. Pada akhirnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Manila menghasilkan
kesepakatan untuk menentukan nasib Sabah dan Serawak melalui jajak pendapat di
bawah naungan PBB. Atas tekanan AS, Inggris menerima rencana jajak pendapat
tersebut dan atas tekanan AS juga Inggris dengan “setengah hati” bersedia
berkompromi dengan Indonesia dan Fhilipina. Pada pertengahan Agustus dikirimlah
misi untuk melakukan jajak pendapat yang
disebut “Misi Michelmore” tiba di Kalimantan dan bekerja sejak 26
Agustus 1963,. Nama Michelmore diambil dari ketua misi, yaitu, Michelmore,
seorang diplomat AS.
Pada
tanggal 14 September 1963 Sekjen PBB mengumumkan hasil jajak pendapat tersebut.
Hasilnya, Sabah dan Serawak menginginkan bergabung bersama Federasi Malaya,
kemudian U-Thant menyampaikan perlunya merumuskan kembali kapan pengumuman
kemerdekaan Federasi Malaysia. Sebelum rumusan tersebut dihasilkan, telah
berlangsung pertemuan antara wakil-wakil Malaya, Singapura, Serawak, Sabah dan
Inggris (tanpa Brunei) di London tanggal 9 Juli 1963 dan memutuskan bahwa
kemerdekaan Malaya akan dideklarasikan pada 31 Agustus 1963,. Pertemuan dan
pengumuman pencapaian kesepakatan hari kemerdekaan Malaysia tersebut membuat
Soekarno marah karena menganggap Malaya melanggar kesepakatan yang telah
dicapai di Manila.
Keadaan
bermusuhanpun menjadi semakin nyata ketika bersama Inggris mengumumkan hari
kemerdekaan Negara Federasi Malaysia pada tanggal 16 November 1963,. Indonesia
menganggap deklarasi tersebut tidak sah dan seharusnya dinegosiasikan terlebih
dahulu seperti yang telah disampaikan oleh Sekjen PBB U Thant dua hari
sebelumnya. Selain itu, Indonesia dan Fhilipina sebagai pengawas jajak pendapat
merasa Inggris dan pihak Malaya sengaja mempersulit izin masuk ke Sabah dan
Serawak sewaktu jajak pendapat dilaksanakan.
Konfrontasi
yang dilancarkan Indonesia merupakan suatu aksi politik luar negeri yang
diangkat ke permukaan atas nama tujuan politik tertentu. Untuk mendapatkan
hasil dari politik luar negeri, diperlukan tindakan (action) untuk mencapai, baik pada masa konflik (interaksi
konfrontatif) maupun pada masa damai (interaksi akomodatif). Tindakan-tindakan
yang dimaksud yaitu; dukungan Indonesia terhadap perlawanan Azhari, pernyataan
konfrontasi secara resmi, membuat kesepakatan lewat rentetan pertemuan dengan
pihak yang bersebrangan maupun yang sepihak, sampai penolakan deklarasi
kedaulatan Negara Federasi Malaysia.
Ganyang Malaysia
Pada
20 Januari
1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio
mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada
12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan
militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar
propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase.
Tanggal 3 Mei
1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno
mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
- Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia".
Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan
Indonesia. Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan
hubungan diplomatik dengan Malaysia.Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura
keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak
Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan
Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh
merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di
Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Di sepanjang
perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba
menduduki Sarawak
dan Sabah, dengan
tanpa hasil
Pada
1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung
Malaya. Di bulan
Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang
terhadap Malaysia
(Operasi Dwikora). Komando ini
kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara
Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu
Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon
TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya
dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda)
berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari
unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah
Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan
beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen
bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut
DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia.
Tentera Malaysia
hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan
pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya
pasukan Indonesia ke Malaysia.
Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus
mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar
2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas
setelah bertempur di belantara Kalimantan.
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba
membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung
didaratkan di Labis,
Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di
perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar
Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu
20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai
anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari
1965 dan mencoba
membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo)
sebagai alternatif.Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan
menyelenggarakan GANEFO
(Games of the New Emerging Forces)
yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November
1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari
48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan
setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan
Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan
Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan
Indonesia. Tetapi, unit seperti Special
Air Service, baik
Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (dikenal sebagai Operasi Claret).
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai
menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan
masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary. Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang
berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia
di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga
8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Akhir Konfrontasi
Menjelang
akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI.
Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia
untuk meneruskan perang dengan Malaysia
menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada
28 Mei 1966 di sebuah
konferensi di Bangkok,
Kerajaan Malaysia dan
pemerintah Indonesia
mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian
perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
KEPENTINGAN POLITIK KONFRONTASI DALAM DAN LUAR NEGERI
Politik luar negeri suatu negara
mencerminkan kepentingan negara tersebut. Politik luar negeri dapat difahami
sebagai cara untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan nasional
terhadap dunia luar. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa politik luar
negeri erat kaitanya dengan kepentingan nasional suatu negara.
Kebijakan politik luar negeri Indonesia
tidak terlepas dari dasar politik luar negerinya yang anti-imperialisme dan
anti-kolonialisme. Sikap anti nekolim juga dapat dilihat dalam pidato Soekarno
di depan forum PBB. Pidato itu berjudul ”membangun dunia kembali”, sebuah
pidato yang kental akan politik ’’mercu-suar’’. Dari dasar politik luar negeri
tersebut, ditambah beberapa faktor lain yang mendukung, membuat terciptanya
sebuah pandangan kolektif bahwa pembentukan Negara Federasi Malaysia adalah
proyek new imperialisme dan new kolonialisme (nekolim)
Kepentingan Dalam Negeri
Kepentiingan politik luar negeri pada saat
Demokrasi Terpimpin dipengaruhi oleh permasalahan yang timbul di dalam negeri.
Di antara permasalahan
tersebut adalah masalah politik dan ekonomi. Situasi tersebut membuat Soekarno
memposisikan diri sebagai unsur politik yang mendominasi meskipun penerapannya
tidak terlepas dari pengaruh Angakatan Darat. Terkait kondisi Indonesia,
demokrasi terpimpin merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan
dari krisis dan terus berubah sepanjang masa yang kacau dalam sejarah
Indonesia.
Kebijakan politik luar negeri Indonesia
memperhatikan kepentingan nasional, tersmasuk masalah konfrontasi terhadap
rencana pembentukan Federasi Malaysia. Dari sudut pandang kepentingan nasioanal
Indonesia, dapat difahami alasan konfrontasi tersebut dilakukan. Keadaan
politik dalam negeri pada masa demokrasi terpimpin membuat sebagian kepentingan
dalam negeri dikaitkan dengan konfrontasi terhadap Malaysia, misalnya;
konfrontasi sebagai alat pemersatu bangsa dan sebagai alat ”pengalihan”
keterpurukan ekonomi.
Sebelum demokrasi terpimpin, semangat
nasionalisme Indonesia sangat lemah, yaitu kurun waktu 1950-1957,. Pada masa
itu, Indonesia terpecah dan motto ”Bhineka Tunggal Ika” tidak diterapkan. Dengan munculnya konfrontasi, semangat
persatuan tumbuh dengan mengatas namakan kepentingan nasional. Misalnya, unsur
militer aindonesia yang awalnya sibuk dan membentang perbedaan pandangan
mengenai kiblat revolusi serta pembangunan Indonesia, dengan adanya konfrontasi
tersebut unsur militer bersatu bersama-sama mengharapkan kenaikan anggaran dan
modernisasi alutsista militer agar dapat melawan gabungan militer Inggris,
Malaysia, New Zeland, Australia dan AS.
Masalah pada saat demokrasi terpimpin
selain perpecahan unsur politik dan militer adalah keterpurukan ekonomi.
Berbagai kebijakan ekonomi dilakukan meskipun hasilnya jauh dari yang
diharapkan. Pada akhir tahun 1961 sampai tahun 1964 perekonomian Indonesia mengalami
keterpurukan sampai hiper-inflash
100% pertahunnya. Konfrontasi dalam konteks perang juga merupakan kebijakan
Soekarno selaku pimpinan tertinggi
militer. Soekarno memandang negara yang masih dalam taraf membangun
sebuah negara yang baru merdeka haruslah mengedepankan kebijakan politik dan
pembangunan ekonomi bukanlah suatu bagian yang paling penting untuk proses national building.
Kepentingan Luar Negeri
Politik luar negeri terhadap Ferderasi Malaysia
yang bersifat konfrontatif dapat dikaitkan dengan kepentingan luar negeri.
Paling tidak beberapa kepentingan tersebut jika dipenuhi dengan serius akan
membawa Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan di mata internasional.
Cerminan hal tersebut dapat dilihat dari susesnya KAA yang pertama, dimana
Indonesia mampu mengambil peranan penting dalam menguatkan unsur anti
penjajahan antara negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika. Federasi
Malaysia salah satu momentum untuk menunjukkan beberapa kepentingan untuk
diangkat. Adapun kepentingan tersebut adalah komitmen penentangan Indonesia
terhadap new imperialisme, melawan
kepungan secara geografis, dan yang tidak kalah penting adalah pengakuan dari
internasional terhadap eksistensi Indonesia sebagai kekuatan baru yang
diperhitungkan.
Kekuatan baru tersebut diwujudkan oleh
Soekarno dalam konsep NEFOS sebagai kontra OLDEFOS. Soekarno membagi
negara-negara di dunia ini menjadi kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit
atau NEFOS (New Emerging Forces) dan
kekuatan-kekuatan lama atau OLDEFOS (Old
Emerging Forces). Penggambaran Soekarno tersebut merupakan reaksi terhadap
atau protes atas kesenjangan negara-negara maju dari negara-negara yang baru
merdeka yang berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Soekarno
beranggapan bahwa NEFOS akan menjadi
kekuatan baru yang diperhitungkan.
PENUTUP
Politik luar negeri Indonesia terkait
dengan rencana Malaya bersama Inggris ingin membentuk Negara Federasi Malaysia,
yang mencakup Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei adalah menolak. Hal ini dapat diketahui dari pidato resmi Menlu Subandrio tanggal 20
Januari 1963 yang berisikan tentang pengambilan sikap konfrontatasi terhadap
rencana tersebut. Dan dukungan Indonesia terhadap pembrontakan Azhari di Sabah
dan Serawak.
Politik konfrontasi Indonesia terhadap
Malaysia dilatar belakangi oleh kekhawatiran Soekarno terhadap kontrol Inggris
di Asia Tenggara akan meluas jika Negara Federasi Malaysia terbentuk dan ini
dapat mengancam keberlangsungan revolusi Indonesia. Selain itu Soekarno juga
beranggapan Negara Federasi Malaysia adalah proyek new imperilsme dan new
kolonialisme (Nekolim). Sedangkan sebab langsung konfrontasi dalam artian
perang adalah pelanggaran Malaya terhadap hasil KTT Manila dan mengumumkan secara sepihak berdirinya Negara Federasi
Malaysia.
Sumber:
http://id.shvoong.com
http://id.wikipedia.org
http://sejarahkita.blogspot.com
http://upi.ac.id
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete