Jamaluddin Afghani: Konsep Pemikiran Pan Islamisme
A. Pendahuluan
Pada
abad 18-19 umat Islam terutama di Negara-negara Timur Tengah mengalami
penurunan, sebaliknya, Barat beranjak maju khususnya dibidang teknologi,
ekonomi, militer dan politik. Bermula
dari semangat penaklukan kembali (recongusta)
daerah yang dikuasai muslim, Bangsa Barat melakukan penaklukan-penaklukan
terhadap dunia Islam yang dibangkitkan oleh semangat keagamaan yang muncul dari
perang salib, yang kemudian meningkat pada kepentingan ekonomi dan seterusnya
menjadi kepentingan politik.
Penetrasi
bangsa Barat ke dunia Islam dimulai dengan penetrasi pemikiran, khususnya sejak
ekspedisi Napoleon Bonaparte (1798) di Mesir, yang membawa ajaran system
pemerintahan republic dan ide persamaan (nasionalisme) yang nantinya akan merongrong
wibawah pemerintahan Islam. Selain itu, penetrasi pemikiran ini d tersebut
didukung oleh cendikiawan muslim yang belajar di Barat, seperti demokrasi,
persamaan hak dalam politik dan nasionalisme; waktu itu pemikiran ini ditantang
keras oleh golongan ulama, hal ini menguntungkan sekaligus memudahkan bangsa
Barat menjalankan misi politikmya.
Kemenangan-kemenangan
politik Barat sejalan dengan kelemahan sruktur pemerintahan kesultanan dan kaum
ulama yang menjalankan perannya sebagai pendukung para Sultan. Para Sultan
hanya berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan pribadi sedangkan rakyatnya
dalam kebodohan disetiap institusi, disetiap lapisan masyarakat percaya
terhadap yang ghaib telah diwarnai khurafat, keraguan, pengkultusan tokoh-tokoh pahlawan atau wali-wali bahkan
pengkramatan tempat-tempat tertentu.
Dalam
kondisi demikian , Afghani muncul dengan pemikiran dan gerakan Pan-Islamisme
untuk menacari solusi permasalahan kondisi umat Islam dengan melakukan
perubahan yang selama ini tenggelam dalam kemunduran dan pergerakan untuk
bangkit melawan kolonialis dan imperialis Barat.
B. Gambaran Umum
Umat Islam
a. Kondisi Politik
Memasuki
abad ke-18, kejayaan umat Islam mulai merosot, walaupun secara lahir,
eksistensi imperium Islam, Baik Khilafah Usmani maupun Qajar di Iran dan Mughal
di India masih diakui, namun dalam praktiknya kekuasaan dan kemakmuran
masing-masing menurun. Hal ini disebabkan terjadinya disintegrasi internal yang
mengakibatkan merosotnya kekuasaan pusat. Perkembangan yang terjadi pada
pemerintahan di berbagai negeri berjalan secara semi otonomi. Ini berarti sudah
ada indikasi pemisahan politik masing-masing negeri dari kesatuan iternasional
Islam.
Dalam
waktu yang sama beberapa negeri yang tadinya kekuasaan imperium Islam berhasil
direbut Imperialis Barat, seperti Aljazair oleh Prancis (1980), India oleh
Inggris (1857) dan Mesir (1882). Menyadari semakin besarnya kekuatan Barat
dibidang Militer yang bersumber dari sains, maka negeri-negeri Islam melakukan
pembaharuan perubahan (revolusi).
Di
Turki pembaharuan dimulai dari Sultan Mahmud II (1808-1838) dan penguasanya di
Mesir, Muhammad Ali (1805-1848) melakukan kebijakan reformatif, seperti
menciptakan perguruan-perguruan bagi latihan militer dan mendatangkan
pelatih-pelatih langsung dari Eropa. Selanjutnya pembaharuan di Turki
dilanjutkan oleh Sultan Abdul Majid (1839-1861) dan Sultan Abdul Hamid II
(1876-1909). Salah satu perubahan yang dilakukan Abdul Hamid ialah Gerakan Tanzhimad (reorganisasi) yang mencakup
pendirian lembaga-lembaga pendidikan sekuler dan sekulerisasi sekolah-sekolah
agama, land reforms, menyusun
struktrur organisasi baru dan penerapan peradilan tindak pidana, perdata dan
dagang yang dipangaruhi hukum Barat. Bahkan
pada masa Sultan Abdul Hamid II tahun 1876, diumumkan konstitusi Perancis dan
Belgia. Dengan kondisi ini, pengaruh paham-paham yang berkembang di Barat
seperti Demokrasi dan Nasionalisme semangkin berpengaruh di Turki, pada hal
paham ini bertentangan dengan sistem pemerintan Turki, yaitu absolutism
(kekuasaan berpusat pada Sultan).
Seiring
dengan itu, sebagai salah satu akibat pembaharuan tersebut , maka berkembangla
paham politik nasionalisme. Pemikiran nasionalisme ini sebagai akibat semakin melemahnya supremasi militer dan
politik Turki, sehingga beberapa wilayahnya
berhasil melepaskan diri. Disamping itu, tekanan dan desakan
Negara-negara eropa membuat imperium
tersebut semakin melemah dan terancam disintegrasi.
Sedangkan
Mesir, Reformasi dilanjutkan oleh Khedive Ismail, mencakup pendirian-pendirian
lembaga pendidikan sekuler sehingga berjalan sejajar dengan lembaga-lembaga
pendidikan tradisional. Disamping itu , kewenangan hukum agama dalam peradilan
semakin dibatasi dan diganti dengan hukum umum yang diadopsi dari hukum
Perancis (Napoleon Code) yang dilaksanakan
oleh peradilan-peradilan sipil.
Disaat
eskalasi program reformasi dan usaha untuk melepaskan diri dari Turki Usmani
semakin meningkat, pihak Inggris melakukan intervensi terhadap Mesir sehingga
pada tahun 1882 Mesir berada di bawah kolonialisasi Inggris.
Di India, Pada abad ke 19, dominasi politik, ekonomi,
dan militer Inggris semakin kuat. Sehingga Sultan Mughal yang bertahta di Delhi
sebagai penguasa India tidak lebih dari seorang raja boneka Inggris. Dengan demikian, kekuasaan politik sultan dan
kedaulatan imperium tersebut telah
berada ditagangan Inggris.
Sedangkan
di Iran tahun 1794-1925 dkuasai oleh Dinasti Qajar yang beraliran Syiah.
Dibawah pimpinan Nashir al-Dhin Shah (1884-1886) tidak banyak pembaharuan. Kedudukan
para ulama dan kepala-kepala suku tidak banyak bergeser. Propinsi-propinsi
tetap relative otonom. Meskipun pemerintahan raja bersifat despotis, raja tetap
mendapat dukungan ulama, mengingat pengaruh religi politiiknya yang kuat.
Isu-isu
nasionalisme baru muncul di Iran setelah makin menguatnya tekanan-tekanan Barat
untuk mengganti system despotism dan otokratis yang dijalankan Dinasti Qajar
tersebut. Usaha-usaha intervensi yang dilakukan oleh pihak Eropa waktu itu,
antara lain monopoli pasar dan control atas perdagangan telah memicu terjadinya
pergolakan dan sentiment nasionalisme di Iran.
b. Kondisi Sosial
Penetrasi yang dilakukan oleh
bangsa-bangsa Barat terhadap dunia Islam telah mempengaruhi semangat
modernisasi dan lebralisasi. Proses yang berlangsung di dunia Islam dalam abad
19 tidak hanya mencakup bidang politik dan militer saja, tetapi juga meliputi bidang
hukum, pendidikan dan ekonomi. Salah satu pengaruh yang kentara ialah
liberalisasi dalam bidang kehidupan, termasuk sekulerisasi lembaga keagamaan
hingga peran ulama yang semangkin menyempit. Disamping itu sekolah-sekolah
bercorak agama yang sudah ada, didirikan pula sekolah-sekolah umum yang
mempelajari bahasa, astronomi, ilmu
ukur, politik, kedokteran serta penyusunan kurikulum baru yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Kelompok ulama mengambil sikap
oposisi terhadap pembaharuan. Kaum ulama beragapan modernisasi dan tersebut sebagai penyebaran westernisasi dan
sekularisasi, bahkan pembaharuan ini disebut bid’ah Yang mengancam otoritas ulama dan institusi agama lainnya.
Dengan respon demikian, sekolah-sekolah agama jauh ketinggalan dari sekolah-sekolah
umum
Dibidang ekonomi, Turki dan Negara-negara
Islam lainnya tersingkir dalam kompetisi produk barang manufaktur dan industry
dari Barat. Kekalahan ini menyebabkan turunnya produksi dalam negeri yang
berimbas pada berkuranggnya pendapatan Negara.
c. Kondisi
Intelektual Dunia Islam
Dalam kurun abad ke-19,
pemikiran-pemikiraan yang berasal dari Barat, seperti liberalism dan
nasionalisme muncul di dunia Islam. Di Turki, pembaharuan bidang intelektual
dimulai dengan pendirian sekolah-sekolah dan memasukkan pelajaran umum. Sekolah
umum perta yang didirikan adalah Galatasaray tahun 1968 yang menggunakan bahasa
pengantar Perancis.
Di Mesir, secara
garis besar terjadi pembaharuan pemikiran di berbagai bidang. Pada umumnya
pemikiran tersebut tranformasi ide-ide dari Barat yang dimodifikasi sesuai
dengan kondisi Mesir. Pemikiran tersebut dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang
memperoleh pendidikan langsung dari Barat, seperti Muhammad Ali Pasya
(1765-1849) yang merombak sistem pendidikan, Ali Thatawi (1801-1873) yang
menggelar pemikiran emansipasi wanita, dan jalan patriotisme.
Sedangkan di India,
muncul pembaharu pemikiran Islam diantaranya dipelopori oleh Syah Waliullah
(1746-1823) yang dilanjutkan oleh Syah Abdul Aziz (1746-1823). Pembaharuan ini diteruskan
oleh Sayyid Muhammad Syahid (1786-1831).
C.
Biografi Singkat Jamalludin Afghani
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afgani as-Sayid Muhammad bin
Shafdar al-Husain. Namun ia
lebih dikenal dengan Jamaluddin al-Afgani. Ia merupakan seorang pemikir Islam,
aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap
kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan
nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun
tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran kaum muslimin gejolak
kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, al-Afghani menjadi seorang
tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada
abad ke-19 dan ke-20.
Para ahli sejarah sependapat bahwa Afghani lahir tahun 1354, mengenai
tempat kelahirannya ada dua versi, pendapat pertama mengatakan al-Ghani lahir
di Desa Asa Abad dekat Hamadan di Iran. Pendapat kedua mengatakan al-Afhani
lahir di Asad dekat Kurat bagian wilayah Kabul, Ibukota Afghanistan. Perbedaan pendapat
mengenai kelahiran dan asal daerah ini erat kaitannya dengan penibatan “Afghani”.
Orang tuanya bernama Sayyid Shard dikenal dengan gelar: Safdar
al-Husaini. Nazab keturunan berhubungan dengan Ali al-Tamizi, seorang perawi
hadist, dan akhirnya sampai ke Husain bin Ali ra.
Orang Syiah Iran dan Irak berpegang pada pendapat bahwa Afghani berasal
dari Asad Abad Iran, dengan asumsi penibahtan itu untuk kepentingan misi islah (pembawa) perubahan besar.
Adapun orang Suni berpegang pada pendapat Afghani
berasal dari Afghanistan, bermahzab Suni. Pendapat ini dikokohkan dengan
pendapat murid dan sahabat Afghani yaitu Muhammad Aduh.
Pendidikan dasar ia peroleh di tanah kelahirannya.
Pada usia 8 tahun Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa. Lalu
ia melanjutkan pendidikannya di Kabul dan Iran. Ia tidak hanya mempelajari ilmu
agama, tetapi juga ilmu umum. Ia tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah,
matematika, fil-safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Ketika berada di Kabul,
sampai umur 18 tahun, ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman disamping
filsafat dan ilmu eksakta.
Kemudian ketika berada di India dan tinggal di sana lebih dari satu
tahun, ia menerima pendidikan yang lebih modern. Di India, al-Afgani memulai
misinya membangkitkan Islam. Kala itu India berada di bawah kekuasaan
penjajahan Inggris. Pada saat perlawanan terjadi di seluruh India, al-Afgani
turut ambil bagian dengan bergabung dalam perang kemerdekaan India di tahun
1857.
D. Jalan
Perjuangan Jamaluddin Afghan
Jamaluddin Afghani adalah seorang
pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah
dari satu negara Islam ke negara Islam lain. Di tahun 1864 ia menajdi penasehat Sher Ali
Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi
Perdana Menteri. Dalam pada itu Inggris telah mulai mencampuri soal politik
dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Afghani memilih
pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Afghani
merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di
tahun 1869.
Di India ia juga merasa tidak bebas bergerak karena negara ini telah
jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, dan oleh karena itu ia pindah ke Mesir di
tahun 1871. Ia menetap di Kairo dan pada mulanya menjauhi persoalan-persoalan
politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab. Di
sanalaha ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Menurut keterangan
Muhammad Salam Madkur , para peserta terdiri atas orang-orang terkemuka dalam
bidang pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa dari Al-Azhar serta
perguruan-perguruan tinggi lain, dan juga pegawai-pegawai pemerintah. Tetapi ia
tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur
tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat.
Dari Mesir Afghani pergi ke Paris dan di sini ia dirikan perkumpulan Al-’Urwah Al-Wusqa dan dari sinilah
konsepsi Pan Islamisme menurut Afghani dituangkan. Adapun anggotanya
terdrii atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara dan
lain-lain. Di antara tujuan yang hendak dicapai ialah memperkuat rasa
persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan.
Sewaktu di Eropa Afghani mengadakan perundingan dengan Sir Randolp Churchil dan
Drummond Wolf tentang masalah Mesir dan tentang penyelesaian pemberontakan
Al-Mahdi di Sudan secara damai. Tetapi kedua usaha itu tidak membawa hasil.
Di tahun 1889 Afghani diundang datang ke Persia untuk
menolong mencari penyelesaian tentang persengketaan Rusia-Persia yang timbul
karena politik pro-Inggris yang dianut pemerintah persia ketika itu. Afghani
tidak setuju dengan pemberian konsessi-konsessi kepada Inggris dan akhirnya
timbul pertikaian paham antara Afghani dan Syah nasir Al-Din. Di tahun 1896
Syah dibunuh oleh seorang pengikut Afghani. Atas undangan Sultan Abdul Hamid, Afghani
selanjutnya pindah ke Istambul di tahun 1892. Pengaruhnya yang besar di
berbagai negara Islam diperlukan dalam rangka pelaksanaan politik Islam yang
direncanakan Istambul.
E.
Pemikiran Afghani: Pan Islamisme
Secara sederhana gerakan Pan Islamisme adalah
menegakkan kesatuan seluruh bangsa yang hidup dalam naungan Islam agar dapat melepaskan diri dari kendali orang-orang
asing dengan perekat ukhuwwah Islamiyah.
Pemikiran Afghani tentang Pan Islamisme ini berawal
perjuangannya dari satu negeri ke negeri muslim lainnya, kemudian kepindahan Afghani
dari Mesir ke London seterusnya ke Paris, telah membuat garis baru dalam
perjuangannya, dari pembaharuan keagamaan dan kemerdekaan kepada kemerdekaan
umat Islam secara global di berbagai negeri muslim. Gerakannya berubah berubah
alih dari orientasi nasionalisme ke solidaritas internasional yang Islami.
Ada dua yang menjadi rujukan pemikiran al-Afghni yang
dimuat dalam al-Urwat al-Wusqa
sebagai substansi Pan Islamisme : al-Wihdah
al-Islamiyah (Kesatuan yang Islami) dan al-Wihdah wa al-Siyadah (kesatuaan
Penguasaan).
Al-Wahidah Al-Islamiyah (Kesatuan yang Islami)
Mengenai kesatuan Islami, Afghani berkata :
” Bersatu dan saling membantu untuk mengokohkan kekuasaan Islam
termasuk sendi utama bagi agama yang dibawah Nabi Muhammad SAW. Meyakini yang demikian merupakan prioritas dari
sejumlah aqidah bagi umat Islam. Untuk ini
tidak dibutuhkan kitab atau guru
untuk memahaminnya. Sesungguhnya para pemimpin Islam akan sesak nafasnya,
berurai air matanya, karena sedih dan duka menyaksikan terjadinya perpecahan
pendapat dan saling berkelahi antara sesame Muslim. Jika tidak karena
kecurangan penguasa yang amat rakus berebut kekuasaan, tentulah Barat dan
Timur, Utara dan Selatan akan bersatu, semua akan menyambut seruan bahwa umat
Islam tidak membutuhkan apapun kecuali membangunkan pemikiran mereka agar mengetahui
apa yang harus dibela. Barsatu pendapat dalam melaksanakan pendapat tersebut,
adanya ikatan yang dinamis, terhindar dari gejolak-gejolak yang berbahaya terhadap agama.”
Dalam keterangan di atas terlihat jelas bahwa kesatuan
yang dimaksud adalah kesatuan dalam kontek politik. Senada dengan keterangan
tersebut Afghani mencontohkan tidak bersatunya Afghanistan dengan Iran dalam
menghadapi Rusia, Jika Iran dan Afghanistan bersatu tentu akan menang dengan
menghadapi Rusia, meskipun dibantu oleh India dan Inggris.
Jadi yang dimaksudkan Afghani al-wahidah al-Islami adalah kesatuan idiologi yang mendasari
politik dan kekuasaan pemerintahan Islam. Idiologi dasar itu adalah al-Quran,
ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan politik dan kekuasaan harus dipegang
sebagai teori yang mesti diterapkan dalam kehidupan jika ingin sukses dan
menang menghadapi musuh-musuh Islam.
Selain itu Afghani juga menggambarkan kesatuan Islam
yang ideal adalah pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, oleh karena itu
Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran
keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat
Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu
diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf
(pendahulu) yang saleh.
Pemikiran Afghani tentang salafiyah ini terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama,
keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud
kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani
pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua,
perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi
maupun kebudayaan. Ketiga, pengakuan terhadap keunggulan barat dalam
bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat
dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa
yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara
selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan
kembali dunia Islam.
Al-Wahidah As-Siyadah (Kesatuan
Pemerintahan/Kekuasaan)
Sejalan dengan konsep kesatuan yang Islami, Afghani menyatakan
pandangannya bahwa antara kesatuan dan kekuasaan merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Kesatuan kekuasaan
merupakan simpulan kebutuhan yang mendesak disatu pihak an suatu hidayah agama
dipihak lain.
Artinya kesatuan sebagai sesuatu yang dituntut agama membutuhkan
kekuasaan yang akan memperjuangkan, sebab kesatuan itu sendiri tidak bisa
terjadi dengan sendirinya. Tanpa adanya kekuasaan yang sanggup mengatasi
keadaan dan mengiringnya kepada kesatuan.
Pemikiraan Afghani menggambarkan keadaan umat Islam saat itu, di
berbagai negeri terjebak pada pandangan yang membuat umat ini apatis dan
statis, selain terpecah belah. Kondisi demikian tidak menguntungkan bagi
perubahan suatu bangsa. Keadaan umat Islam tidak kondusif untuk upaya politis
menghadapi imperialisme, sebelum umat ini diingatkan kepada kesatuan dan
kekuasaan yang menjadi langkah awal gerakan Pan-Islamisme. Oleh sebab itu
Afghani menjelaskan dua langkah awal dalam mempersiapkan umat Islam dalam menyambut
gerakan Pan Islamisme, yaitu 1) Penyadaran. Setiap individu diberikan
penyadaran tentang pentingnya kesatuan pendapat. Penyadaran ini dianggap
berhasil jika setiap individu merasakan kesatuan itu sebagai suatu yang enak.
2) Motivasi. Jika penyadaran telah tertanam, akan terlihat pada meraka sebuah motivasi,
cita-cita yang tinggih, kepribadian yang jelas, dorongan yang kuat dan tekad
yang bulat yag dibutuhkan bagi suatu kekuasaan dan kemenangan.
Menyadari sulitnya menyatukan umat Islam dalam bingkai Pan Islamisme, terutama
perpecahan dalam bentuk mahzab suni-syiah. Afghani berkata:
“Saya tidak bermaksud dengan ucapan saya ini bahwa penguasa untuk
semuanya adalah seorang, hal ini mungkin sulit dilaksanakan, tetapi yang saya
harapkan adalah bahwa sultan (penguasa) umat ini adalah al-Quran. Orientasi
kesatuan mereka adalah agama Islam. Setiap raja yang ada di wilayah kekuasaannya
berusaha sungguh-sungguh menjaga kerajaan Islam yang lain semampunya. Yang lain
itu hidup bersama dengan kelanggengannya. Kecuali hal itu merupakan asas dalam
agama, ia akan menjadi keputusan di waktu darurat dan menjadi penentu kebutuhan
masa kini. Inilah masanya kesepakantan itu."
Sejalan dengan pernyataan tersebut Muhammad Abduh menjelaskan, konsep Pan Islamisme
yang diseruhkan oleh Afghani adalah dalam rangka memudahkan bangsa-bangsa
Muslim melepaskan diri dari kendali asing. Afghani menempatkan posisi yang pas
menggunakan ukhuwah Islamiyah dan iman kepada al-quran dalam menjembatani perbedaan mahzab suni-syiah,
serta meminimalisir konflik kepentingan antar sultan.
Sealian itu Majid Fakhri menambahkan, awalnya Afghani menginginkan kekhalifaan
terpadu, kesatuan kekuasaan umat muslim, namun karena adanya perbedaan pandangan
dengan Khalifah Turki Usmani yaitu Khalifah Abdul Majid, sehinggah Afghani
mengalihkan keinginannya kepada kesatuan jiwa (The World Spirit) yang nantinya disebut nasionalisme agama
disamping nasionalisme tanah air.
F. Kesimpulan
Keseluruhan keterangan di atas mengantarkan pada suatu kesimpulan
bahwasanya. Konsep pemikiran Afghani bermula dari perjalanan panjang dalam
menyerukan perubahan diberbagai negeri Islam, yang umumnya mempunyai
permasalahan umum, yaitu mengalami penjajahan, keterbelakangan pendidikan serta
dekadensi akidah.
Awalnya Afghani memperjuangkan nasionlisme tanah air (bersifat
kedaerahan) kemudian berubah menjadi Pan Islamisme (Jamia Islamiyah) yang berasaskan
pada kesatuan politik dan kekuasaan, namun akhirnya Pan Ismiyah ditujukan pada
nasionalisme agama dan nasionlisme tanah air.
Sumber
Nawawi,Showan. Jamaluddin
Al-Afghani Pelopor Pan Islamisme. Pustaka Tarbiatuna.Jakarta 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment