Kesultanan Barus

Kesultanan Barus


Makam Syeh Mahmud Barus, Foto Wikipedia
Barus, sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatra Utara. Namun, sejarah daerah ini sebenarnya sangat tua, setua ketika kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-pertama dikenalkan ke seluruh Nusantara.

Barus atau yang biasa disebut Fansur telah disebut sejak awal abad Masehi dalam riteratur Yunani, Mesir, Syiriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China (Tiongkok), Melayu dan Jawa. Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga iternasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemius, seorang gubernur dari kerajaan Yunani yang berpusat di Alexanderia, Mesir pada abad ke 2.  Juga telah menyebutkan bahwa Barousai (Barus) yang di kenal sebagai daerah penghasil wewangian dari kapur barus. Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.
Berdasarkan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis bahwa Syaikh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi dan terdapat pula makam Syaikh Ushuluddin yang panjangnya kira-kira 7 meter. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu. Sebuah tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang berkerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad ke 9-12 M, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun, dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh dan sebagainya, hidup dengan berkecukupan di kota Barus dan sekitarnya.

Barus Hulu

Negeri Sionomhudon pada abad 15-16 dikenal sebagai bagian dari kerajaan Barus Hulu. Sejak berdirinya sebuah kerajaan dengan Rajanya yang bernama Sultan Marah Sifat. Di negeri inilah Sisingamangaraja XII mendapat suaka politik dan mendirikan benteng perhtahanan terakhir dan sekaligus memerintahkan in exile, kerajaan Batak melawan kekuatan kolonial Belanda.

Negeri Sionomhudon atau dalam bahasa Pakpak disebut Sienemkodin (Enam Periuk) terletak di daerah pegunungan bagian barat Danau Toba membentang hinggga pinggir Samudra Hindia, di barat perbatasan adalah Barus dan Singgil. Sejarah Negeri Sionomhudon Kerajaan Barus Hulu yang diperintah oleh Sultan Marah Sifat meliputi delapan propinsi: Negeri Rambe, Negeri Simanullang, Negeri Tukka Holbun Sijunkang, Negeri Pasuk,Negeri Pasuk, Negeri Tukka Dolok, Negeri Siambaton, dan Negeri Sianambaton.

Kerajaan ini diperkirakan masuk dalam kedaulatan Kerajaan Hutorusan sejak 1000-1300 SM. Kerajaan itu menjadi bagian dari dinasti Sorimangaraja pimpimnan Raja Uti (Raja Miok Miok atau raja Hatorusan atau Bia-Biak alias Gumelleng-gelleng) yang berpusat di Sianjur.

Mula-mula kerajaan Uti merupakan konfederasi kerajaan kecil yang membentang di seluruh tanah Batak, timur Sumatra, sampai ke pesisir Singkil di Aceh dan pesisir barat, Sumatra Utara. Ibu Kotanya pernah pindah-pindah, diantara ke Aceh (pesisir).

Pada Abad ke 10-12, Kerajaan Hutorusan diserang oleh kerajaan Sriwijaya. Raja Utipun kehilangan kontrol terhadap kerajaan-kerajan kecilnya. Diperkirakan Barus Hilir dan Hulu takluk. Setelah Sriwijaya berhasil diusir kerajaan-kerajaan Barus Hulu da Hilir kemudian membngun daerahnya. Kontrol Hutorusan melemah, begitu juga  terhadap singkil dan beberapa kerajaan dipesisir barat.

Abad ke 14, gelombang pasukan Majapahit pimpinan Patih Gajah Mada melakukan ekspansi melalui timur sumatra. Beberapa wilayah Batak pernah dikuasai sampai ke Sionomhudon. Pergerakan mereka ke barat terhenti karena mereka berhasil dihalau kelauar tanah Batak. Namun begitu kerajaan Majapahit tetap melakukan hubungan dagang dengan Barus. Elemen Majapahit yang tidak menyempatkan diri kemabali ke tanah Jawa, mendirikan komunitas di Dairi. Sumber-sumber sejarah dinasti Ming di China menyebutkan bahwa pada tahun 1418s ebuah rombongan utusan dari kerajaan Majapahit menemui Raja Barus disertai orang China yang telah lama tinggal di situ.

Kerajaan Pagaruyung pernah berkeinginan menaklukkan Barus pada abad 15. Namun, pada abad ke 16 salah satu keturunan Raja Uti, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu berhasil membangun kekuatan Barus yang lebih kuat dan disegani. Sebuah kerajaan yang terpisah dari kerajaann Uti yang tertinggla sisa-sisanya di pedalaman. Namun, Dia memakai nama Hoturusan, mengikuti nama kerajaan Nenek moyangnya, sebagai kerajaan Barus tersebut.

Dinasti Sorimangaraja diketahui akhirnya dikudeta oleh keluarga Manullang. Kedaulatan Kerajaan Batak akhirnya di tranfer ke Raja Mahkota alias Manghuntal yang menjadi pendiri Dinasti Sisingamangaraja. Dia mantan panglima kerajaan Hatorusan yang berhasil menumpas para pembrontak di pedalaman Tano Batak. Dinasti Sisingamangaraja berpusat di Bakkara.

Pada zaman inilah, abad ke 16 diketahui bahwa barus Hulu telah berdiri kerajaan tersendiri denga Rajanya Sultan Marah Sifat, kerajaan inipun pecahan dari Kerajaan Hatorusan versi baru, memeberi ultimatum kepada Barus Hulu untuk tunduk kepada Kerajaan Hatorusan, Kerajaan Barus Hulu kemudian tunduk kepada kerajaan Barus Raya pimpinan Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.

Awal abad ke 17, Aceh melakukan ekspansi, Sultan Ibrahimsyah gugur membela negerinya, kerajaan Barus Hulu akhinya dipegang oleh Sultan Yusuf Pasaribu dan setelah meninggal digantikan oleh Sultan Hidayat Pasaribu dan beberapa keturunannya, kerajaan Hatorusan baru ini merupakan aliansi dengan Si Singamangaraja XII dalam menghadapi kekuatan kolonialis Belanda. Beberapa kali surat-menyurat serta negosiasi dilakukan untuk mengatur strategi pertahanan. Setelah tewasnya Si Singamangaraja XII tahun 1907, rakyat Barus Hulu dan Hili tetap berjuang melawan Belandawalu dalam jumlah kecil sampai tahun 1920, Barus Hulu sepeninggal Sultan Marah wafat digantikan oleh anaknya Maharaja Bongsudan keturunannya, akhirnya takluk ke Belandadan menjadi Onderafdelling Boven Barus berpusat di Pakkat. Hanya saja belum seluruh propinsi takluk.

Ketika Si Singa Mangaraja XII mengambil suaka politik di Pearaja, negeri Sionomhutong, propinsi Barus Hulu, turut besertanya 800 orang yang sebagain besar terdiri dari pasukan khusus pengawal raja bantuan Aceh. Pearaja menjadi basis pemerintahan in exile Kerajaan Batak selama 17 Tahun, sebelumnya akhirnya takhluk kepada Belanda.


No comments:

Post a Comment

x
Ikuti kami di Facebook