Perjuangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo  Dalam Membentuk Negara Islam Indonesia

Perjuangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Dalam Membentuk Negara Islam Indonesia


Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo menurutya setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Indonesia tidak dapat langsung merasakan suasana kemerdekaan yang sesungguhnya. Ini dikarenakan Indonesia harus menghadapi dan melawan musuh-musuh yang ingin merongrong kedaulatan Indonesia. Bangsa Indonesia tidak hanya menghadapi musuh dari luar yaitu Inggris dan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali, melainkan juga musuh yang berasal dari dalam negeri. Musuh dari dalam negeri sendiri antara lain usaha pemberontakan yang dilakukan oleh golongan kiri yang didalangi orang-orang komunis di bawah pimpinan Musso yang kembali dari Uni Soviet. Pemberontakan ini pecah di daerah Madiun Jawa Timur. Selain itu, ada juga usaha dari golongan Islam yang ingin mendirikan negara Islam Indonesia di bawah komando Kartosoewirjo.

Sejak kedatangan sekutu di Indonesia, yang membonceng NICA, telah menyebabkan pertempuran terus menerus antara pihak Indonesia dengan Inggris dan Belanda. Inggris yang tidak ingin Beliaunggap sebagai musuh berusaha mempertemukan Indonesia dan Belanda dalam suatu perundingan. Tetapi Belanda yang bertekad untuk menjajah kembali Indonesia melihat Republik Indonesia sebagai penghalang utama yang harus disingkirkan dengan cara apapun. Sehingga Belanda sama sekali tidak berminat untuk mengadakan perundingan dengan Republik.

Namun Belanda tak berdaya untuk menolak tekanan sekutu (Inggris) agar mengadakan perundingan dengan pihak Republik Indonesia. Belanda tidak berdaya karena dalam operasinya di Indonesia, Belanda masih lemah dan mengandalkan dukungan pasukan Inggris. Pada akhirnya Belanda memutuskan untuk meneruskan perundingan, tetapi dengan tujuan tidak untuk mencari penyelesaian. Oleh karena itu, Inggris mengirimkan Lord Killearn pada bulan Agustus 1946 untuk menjadi penengah. Atas jasanya tercapai perjanjian Linggajati pada tanggal 10 November.

Ketika perjanjian Linggajati ditandatangani antara Belanda dan Indonesia, Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik atas Jawa, Sumatera dan Madura. Namun perjanjian ini dilanggar oleh Belanda dengan melakukan Aksi Militer Pertama. Aksi Militer Pertama mengakibatkan masalah Indonesia masuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada bulan Januari 1948, tercapai suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda di atas kapal Amerika USS Renville di pelabuhan Jakarta. Ini setelah Belanda datang kembali ke Indonesia dengan tujuan ingin menguasai Indonesia, serta pelanggaran yang dilakukan terhadap hasil keputusan Liggajati berupa Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Persetujuan di atas kapal ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut sebagai ‘garis van Mook’, suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di belakangnya. Walaupun persetujuan ini tampaknya seperti kemenangan besar pihak Belanda, namun tindakan pihak Republik dalam menerima perjanjian tersebut lebih disebabkan karena kurangnya persenjataan yang dimiliki oleh pemerintah Republik Indonesia pada saat itu.

Salah satu ketentuan persetujuan Renville yang Beliau adakan antara pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda adalah bahwa pasukan Republik akan ditarik dari daerah-daerah yang resmi dikuasai Belanda. Ini berarti pembatasan wilayah Republik Indonesia di Jawa pada daerah kecil Jawa Barat sebelah barat Jakarta dan pada bagian-bagian seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pasukan republik meninggalkan hampir seluruh Jawa Barat, Jawa Tengah dari perbatasan dengan Jawa Barat kira-kira sampai Kebumen di selatan dan Semarang di utara, dan daerah Timur sebelah timur Malang.

Perjanjian Renville ini menimbulkan kekecewaan dari rakyat dan kelompok militer yang tengah melakukan perang gerilya. Dengan adanya keputusan untuk melakukan gencatan senjata dan mengakui garis demarkasi Van Mook, mereka harus menarik seluruh kekuatan militernya dari garis pertahanan Belanda. Kerugian terbesar adalah menyusutnya wilayah republik yang selama ini telah dikuasai dan diduduki oleh pasukan republik. Mereka pun harus mengosongkan kantong-kantong gerilya. Maka pasukan Siliwangi harus “hijrah” dari Jawa Barat ke Yogyakarta yang disambut oleh Jenderal Sudirman di Stasiun Tugu.

Walaupun demikian, kelompok Tentara Nasional Indonesia di bawah pemerintahan kabinet Moh. Hatta tetap mematuhi isi dari perjanjian Renville tersebut.

Kondisi politik pemerintahan Republik setelah perjanjian Renville disahkan, dimanfaatkan oleh kelompok Islamis yang tergabung dalam Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia), dengan gerakannya yang dikenal dengan gerakan Hizbullah dan Sabilillah. Hizbullah merupakan gerakan yang dibentuk pada bulan Desember 1944 atas izin dari pemerintahan Jepang setelah didesak oleh Masyumi sebagai cadangan PETA (Pembela Tanah Air). Sedangkan Sabilillah merupakan gerakan yang dibentuk setelah kemerdekaan, tepatnya ketika berlangsung Kongres Masyumi yang pertama di Yogyakarta. Gerakan ini dibentuk untuk mendampingi gerakan sebelumnya yaitu Hizbullah. Perbedaan dari kedua gerakan ini adalah terletak pada anggotanya. Apabila gerakan Sabilillah yang baru terbentuk beranggotakan generasi tua, maka sebaliknya gerakan Hizbullah beranggotakan orang-orang yang masih muda. Gerakan berbasis Islam ini menolak untuk mematuhi hasil dari perjanjian Renville dan memilih bertahan di Jawa Barat. Gerakan Hizbullah dipimpin oleh Zainal Abidin di daerah Baluburlimbangan dan Kurnia di daerah Cicalengka. Sedangkan gerakan Sabilillah dipimpin oleh Enoch (Enokh) di daerah Wanaraja dan Garut, serta di daerah sekitar Gunung Cepu (sebelah utara Tasikmalaya) dipimpin oleh R. Oni. Keputusan kedua gerakan tersebut yang tetap tidak mau menerima hasil perjanjian Renville dan memilih bertahan di Jawa Barat menimbulkan konflik di dalam tubuh partai Masyumi yang bersikap kooperatif dengan pemerintah Republik Indonesia.

Kartosoewirjo, yang sejak terjadinya Agresi Militer Belanda I sudah menjabat sebagai wakil pengurus Besar Masyumi untuk wilayah Jawa Barat merasa sangat kecewa dan prihatin terhadap pimpinan Masyumi Pusat dan juga pemerintah Republik Indonesia. Baginya, perjanjian Renville tidak hanya menjadikan wilayah RI semakin menyusut, tetapi juga mengharuskan Pasukan Siliwangi ditarik dari Jawa Barat. Sebagai wujud rasa kekesalannya, Kartosoewirjo menolak hasil perundingan tersebut, termasuk menolak instruksi melakukan long march ke Jawa Tengah. Maka, Kartosoewirjo lebih memilih bertahan di Malangbong mengkoordinasi perlawanan bersama gerakan Hizbullah dan Sabilillah serta bergerilya dari balik gunung. Ini jelas sebuah pembangkangan atas perintah yang diberikan oleh pemerintahan yang sah.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah nama lengkap dari tokoh penting Masyumi yang menolak hasil dari perjanjian Renville dan memilih bertahan di Jawa Barat. Kartosoewirjo ini yang nantinya mendirikan sebuah Negara Islam di Jawa Barat tahun 1949. Beliau dilahirkan di daerah Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro pada tanggal 7 Februari 1905. Ayahnya adalah seorang mantri penjual candu di daerah Pamotan dekat daerah Rembang, yang Beliaungkat menjadi pegawai di bidang distribusi perdagangan candu oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan yang diperoleh dimulai pada tahun 1911 dengan masuk sekolah rakyat. Setelah ujian akhir kelas IV, Kartosoewirjo pindah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Pada tahun 1919, orang tuanya pindah ke Bojonegoro dan memasukkan Kartosoewirjo di ELS (Europeesche Legere School). Di sekolah ini Kartosoewirjo diturunkan satu kelas karena standar pendidikan di ELS lebih tinggi dibandingkan dengan HIS. Setelah lulus dari ELS, pada tahun 1923 Kartosoewirjo melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di Sekolah Kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Di sekolah ini terlebih dahulu Kartosoewirjo mengikuti tingkat persiapan (Voorbereidende School) selama tiga tahun. Baru kemuBeliaun pada tahun 1926 Beliau mulai kuliah utama yang sebenarnya. Sekolah Kedokteran ini hanya khusus membahas persoalan-persoakan medis. Dari sekolah ini justru Kartosoewirjo banyak terlibat dengan aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.

Namun hanya setahun saja Kartosoewirjo kuliah di NIAS. Karena Beliau dikeluarkan dari sekolah tersebut dengan alasan bahwa Kartosoewirjo memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis. Buku-buku tersebut diperoleh Kartosoewirjo dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo yang merupakan wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal. Sekolah tempat ia menimba ilmu menuduh Kartosoewirjo seorang komunis karena ideologi ini dipandang sebagai ideologi yang sangat membahayakan. Karena pengaruh pamannya sangat kuat, semakin membangkitkan minat Kartosoewirjo untuk memperdalam ilmu di bidang politik. Tidak mengherankan, apabila kemuBeliaun Kartosoewirjo tumbuh menjadi seorang yang memiliki kesadaran politik dan integritas keIslaman yang tinggi. Ini dapat dilihat sejak tahun 1923 Beliau sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Dalam organisasi ini Beliau terpilih menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Pada tahun 1925 Beliau pindah ke organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) karena sikap pemihakannya terhadap agamanya, bukan pada paham nasionalisme.

Sejak berkecimpung dalam partai politik, terutama sejak masuk menjadi anggota Partai Sarikat Islam (PSI) yang kemuBeliaun berubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), hampir seluruh perhatiannya dicurahkan pada partainya tersebut. Keterlibatan dalam partai politik ini mempertemukan Kartosoewirjo dengan Oemar Said Cokroaminoto, tokoh yang kharismatik dan memiliki pemikiran tentang cita-cita berdirinya negara Islam, yang mempengaruhi perjuangan Kartosoewirjo dalam pembentukan negara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Beberapa tokoh PSII menyebutkan bahwa Kartosoewirjo merupakan seorang yang memiliki ambisi besar untuk menjadi pemimpin. Ini dapat dilihat setelah wafatnya Cokroaminoto. Beliau selalu berusaha untuk menanamkan pengaruhnya dalam setiap kongres partai yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh partai PSII. Perpecahan dimulai ketika terjadi perbedaan mengenai sikap partai terhadap pemerintah kolonial. Dewan eksekutif di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminto) bersikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial, sedangkan Dewan Partai di bawah pimpinan Agus Salim lebih bersikap terbuka dan mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Kartosoewirjo mengkritik Agus Salim pada kongres partai dan menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Beliau menerangkan bahwa politik ini merupakan jalan tengah antara Non-Kooperatif dan Kooperatif. KemuBeliaun dinyatakan bahwa politik PSII adalah politik Islam, seperti dijelaskan oleh Kartosoewirjo sebagai berikut :

“Yang dimaksudkan dengan politik dalam faham Partai Sarikat Islam Indonesia ialah politik Islam, politik sepanjang ajaran-ajaran Islam. Dan dari sendirinya, maka politik yang dijalankan oleh PSII ialah politik Islam. Bukan politik barat atau politik membarat! Bukan politik yang tidak ada sangkut pautnya dengan Islam dan bukan pula politik yang “Bukan politik Islam” atau politik di luar Islam”

Beliau juga menuntut agar PSII memberikan pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, agar mereka dapat memerintah negara mereka sendiri bila waktunya telah tiba.

Dari pernyataan Kartosoewirjo mengenai politik PSII dan tuntutan pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, sudah terlihat usaha-usaha awal Kartosoewirjo untuk merealisasikan cita-citanya membentuk sebuah negara sendiri yaitu negara yang berdasarkan ajaran dan ideologi Islam.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kartosoewirjo bergabung ke dalam Partai Masyumi. Partai Masyumi pada saat itu memiliki pengikut yang cukup besar. Di partai ini, Kartosoewirjo menjabat sebagai sekretaris I. Kartosoewirjo berpendapat bahwa di dalam sebuah negara demokrasi, perjuangan melalui partai merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan dalam sebuah negara. Dengan kedudukannya yang cukup penting, Kartosoewirjo memanfaatkan dua gerakan yang dimiliki oleh Partai Masyumi yaitu Hizbullah dan Sabilillah untuk nantinya dijadikan tentara dalam negara Islam bentukannya. KemuBeliaun setelah terjadinya perundingan Renville serta kekosongan tentara di Jawa Barat, Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya negara Islam Indonesia pada tahun 1949 di Jawa Barat dengan tentaranya yaitu Hizbullah dan Sabilillah.

Apabila dilihat dari tingkat pendidikan baik pendidikan umum maupun pendidikan agama yang diperoleh, jelas tidak mungkin Kartosoewirjo dapat menjadi salah satu tokoh penting dalam organisasi Islam besar seperti Masyumi. Karena dapat dikatakan bahwa pendidikan Kartosoewirjo hanya setingkat SMA pada masa sekarang. Bahkan pendidikan umumnya, hanya didapatkan di sekolah-sekolah sekuler saja. Namun kecakapan Kartosoewirjo dalam setiap organisasi yang dimasuki serta pergaulannya dengan tokoh-tokoh penting seperti Cokroaminoto yang mendidik Kartosoewirjo menjadi seorang tokoh yang sangat berpengaruh pada masa pemerintahan kolonial Belanda hingga kemerdekaan serta memiliki cita-cita untuk mendirikan sebuah negara Islam yang pada akhirnya nanti mengantarkan Kartosoewirjo mendirikan sebuah Negara Islam Indonesia di Jawa Barat.





1 2 3

No comments:

Post a Comment

x
Ikuti kami di Facebook